Juknis Menerapkan Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid. Apa dan bagaimana pembelajaran Untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Semua Murid? Ki Hajar Dewantara telah menyampaikan bahwa maksud dari pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia maupun anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sebagai pendidik, kita tentu menyadari bahwa setiap anak adalah unik dan memiliki kodratnya masing-masing. Tugas kita sebagai guru adalah menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan setiap anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai dengan kodratnya masing-masing, dan memastikan bahwa dalam prosesnya, anak-anak tersebut merasa selamat dan bahagia.
Setiap
murid yang duduk di kelas kita adalah individu yang unik dan ini seharusnya menjadi
dasar dari praktik-praktik pembelajaran yang kita lakukan di kelas dan di sekolah,
serta menjadi kerangka acuan saat mengevaluasi praktik-praktik pembelajaran kita.
Dengan meyakini bahwa setiap anak adalah unik, maka sebagai pendidik, kita semua
juga tentu harus membuka mata terhadap adanya keberagaman murid-murid di kelas kita.
Saat berbicara tentang keberagaman murid, maka tentu saja cakupannya sangat luas.
Keberagaman murid mungkin dapat berupa:
·
murid-murid
kita yang berasal dari keluarga kurang mampu yang tidak dapat mengakses teknologi
dari rumah sehingga tidak bisa berpartisipasi dalam pembelajaran daring;
·
murid-murid
yang memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan di kelas, karena ia
murid yang baru pindah dari daerah lain;
·
murid-murid
yang bosan karena ia sebenarnya telah menguasai keterampilan yang diajarkan,
sehingga pembelajaran tidak menantang lagi untuknya;
·
murid-murid
yang saat ini sedang berjuang keras untuk mencoba memahami apa yang diajarkan,
namun karena adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara apa yang ia mampu
lakukan dengan apa yang sedang dipelajari, akhirnya ia tidak bisa membuat
koneksi;
·
murid
kita yang hasil-hasil kerjanya tampak baik, namun di sisi lain memiliki masalah
sosial emosional;
·
murid
kita yang memiliki minat yang besar terhadap bidang tertentu;
·
murid-murid
kita yang memiliki kesulitan-kesulitan dalam belajar;
·
Dan
sebagainya.
Melihat
betapa luas keberagaman murid-murid kita, maka sebagai guru, kita perlu berpikir
bagaimana caranya kita dapat menyediakan layanan pendidikan yang memungkinkan
semua murid mempunyai kesempatan dan pilihan untuk mengakses apa yang kita
ajarkan secara efektif sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebagai
pendidik, dengan meyakini bahwa tugas kita adalah melayani murid-murid dengan
segala keberagaman tersebut serta menyediakan lingkungan dan pengalaman belajar
terbaik bagi mereka, maka berarti kita juga harus meyakini bahwa:
1. semua murid kita bisa berhasil dan sukses dalam
pembelajarannya.
2. fairness is not sameness. Bahwa bersikap adil itu
bukan berarti menyamaratakan perlakuan kepada semua murid.
3. setiap murid memiliki pola belajarnya sendiri yang
unik.
4. praktik-praktik pembelajaran perlu ditelaah
efektifitasnya lewat bukti-bukti yang diambil dari pengalaman demi pengalaman.
5. guru adalah kunci dari keberhasilan pengembangan program
pembelajaran murid-murid di kelasnya.
6. guru membutuhkan dukungan dari komunitas yang lebih besar
untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa.
Fakta
bahwa murid-murid kita memiliki karakteristik yang beragam, dengan keunikan, kekuatan
dan kebutuhan belajar yang berbeda, tentunya perlu direspon dengan tepat. Jika tidak,
maka tentunya akan terjadi kesenjangan belajar (learning gap), dimana pencapaian
yang ditunjukkan murid tidak sesuai dengan potensi pencapaian yang seharusnya
dapat ditunjukkan oleh murid tersebut.
Salah
satu cara yang dapat kita lakukan untuk merespon karakteristik murid-murid yang
beragam ini adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran
berdiferensiasi akan memungkinkan guru memaksimalkan potensi peserta didik dengan
meminimalisir kesenjangan belajar (learning gap) melalui proses identifikasi
kebutuhan belajar murid yang tepat. Lewat pembelajaran berdiferensiasi, tidak hanya
murid berkembang potensinya secara maksimal, namun proses pembelajaran juga akan
lebih memberikan banyak ruang bagi murid untuk membuat dan menentukan pilihan
dan memberikan suara, sehingga proses belajar akan menjadi lebih menyenangkan.
Apa
pengertian Pembelajaran Berdiferensiasi ? Setiap harinya, tanpa disadari, guru
dihadapkan pada keberagaman yang banyak sekali bentuknya, sehingga seringkali mereka
harus melakukan banyak pekerjaan atau membuat keputusan dalam satu waktu. Misalnya,
saat mengajar di kelas, seorang guru mungkin harus membantu satu muridnya yang
kesulitan, namun di saat yang sama harus mengatur cara bagaimana agar saat ia
membantu murid tersebut, kelasnya tetap dapat berlangsung dengan kondusif.
Dalam kesehariannya, guru akan senantiasa melakukan hal ini, sehingga kemampuan
untuk multitasking ini secara natural sebenarnya dimiliki oleh guru. Kemampuan ini
banyak yang tidak disadari oleh para guru, karena begitu alaminya hal ini
terjadi di kelas dan betapa terbiasanya guru menghadapi tantangan ini. Semua
usaha tersebut tentunya dilakukan oleh guru dengan tujuan untuk memastikan setiap
murid di kelasnya sukses dalam proses pembelajarannya.
Jadi
pengertian pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal
(common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.
Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:
1. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang
didefinisikan secara jelas. Bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan
pembelajaran, namun juga murid-muridnya.
2. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar
muridnya. Bagaimana guru akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan
belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang
berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.
3. Bagaimana guru menciptakan lingkungan belajar yang
“mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan
belajar yang tinggi.Bagaimana guru memastikan setiap murid di kelasnya tahu
bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang proses belajar mereka.
4. Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan
prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas, namun juga struktur
yang jelas, sehingga walaupun murid melakukan kegiatan yang mungkin
berbeda-beda, namun kelas tetap dapat berjalan secara efektif.
5. Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru menggunakan informasi
yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat
menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah
lebih dulu mencapai tujuan belajar yang ditetapkan, dan kemudian menyesuaikan
rencana dan proses pembelajaran.
Bagaimana
tata cara atau juknis untuk Mengetahui Kebutuhan Belajar Murid ? Tomlinson (2001)
dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom
menyampaikan bahwa kita dapat melihat kebutuhan belajar murid, paling tidak
berdasarkan 3 aspek. Ketiga aspek tersebut adalah Kesiapan belajar murid
(readiness), Minat murid, dan profil belajar murid.
Sebagai
guru, kita semua tentu tahu bahwa murid akan menunjukkan kinerja yang lebih baik
jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka
miliki sebelumnya (kesiapan belajar/ readiness), jika tugas-tugas tersebut memicu
keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), atau jika tugas itu
memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil
belajar).
1. Kesiapan Belajar (Readiness)
Apa yang dimaksud Kesiapan
Belajar ? Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari
materi, konsep, atau keterampilan baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan
tingkat kesiapan murid akan membawa murid keluar dari zona nyaman mereka dan
memberikan mereka tantangan, namun dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan
yang memadai, mereka tetap dapat menguasai materi atau keterampilan baru tersebut.
Ada banyak cara untuk membedakan kesiapan belajar. Tomlinson (2001: 46) mengatakan
bahwa merancang pembelajaran mirip dengan menggunakan tombol equalizer pada
stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan kombinasi suara terbaik, biasanya
Anda akan menggeser-geser tombol equalizer tersebut terlebih dahulu. Saat Anda mengajar,
menyesuaikan “tombol” dengan tepat untuk berbagai kebutuhan murid akan
menyamakan peluang mereka untuk mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan
produk belajar yang tepat di kelas Anda. Tombol-tombol dalam equalizer tersebut
sebenarnya menggambarkan beberapa perspektif yang dapat kita gunakan untuk menentukan
tingkat kesiapan belajar murid. Dalam modul ini, kita hanya akan mencoba
membahas 6 dari beberapa contoh perspektif yang terdapat dalam Equalizer yang
diperkenalkan oleh Tomlinson (2001: 47) tersebut.
a.
Bersifat mendasar -- Bersifat transformatif
Saat murid dihadapkan
pada sebuah ide yang baru, yang mungkin belum dikuasainya, mereka akan membutuhkan
informasi pendukung yang jelas, sederhana, dan tidak bertele-tele untuk dapat
memahami ide tersebut. Mereka juga akan perlu waktu untuk berlatih menerapkan ide-ide
tersebut. Selain itu, mereka juga membutuhkan bahan-bahan materi dan
tugas-tugas yang bersifat mendasar serta disajikan dengan cara yang membantu mereka
membangun landasan pemahaman yang kuat. Sebaliknya, saat murid dihadapkan pada
ide-ide yang telah mereka kuasai dan pahami, tentunya mereka membutuhkan informasi
yang lebih rinci dari ide tersebut. Mereka perlu melihat bagaimana ide tersebut
berhubungan dengan ide-ide lain untuk menciptakan pemikiran baru. Kondisi seperti
itu membutuhkan bahan dan tugas yang lebih bersifat transformatif.
b.
Konkret - Abstrak.
Di lain kesempatan, guru
mungkin dapat mengukur kesiapan belajar murid dengan melihat apakah mereka masih
di tingkatan perlu belajar secara konkret, sehingga mereka mungkin masih perlu belajar
dengan menggunakan beragam alat-alat bantu berupa benda konkret atau contoh-contoh
konkret, atau apakah murid sudah siap bergerak mempelajari sesuatu yang lebih abstrak,
sehingga mereka mungkin mulai dapat diperkenalkan dengan konsep-konsep yang
lebih abstrak.
c.
Sederhana - Kompleks.
Beberapa murid mungkin
perlu bekerja dengan materi lebih sederhana dengan satu abstraksi atau esensi
pada satu waktu, sementara murid yang lain mungkin sudah bisa menangani
kerumitan berbagai abstraksi pada satu waktu.
d.
Terstruktur - Terbuka (Open Ended)
Saat menyelesaikan tugas,
kadang-kadang ada murid-murid yang masih memerlukan struktur yang jelas,
sehingga tugas untuk mereka perlu ditata dengan tahapan yang jelas dan cukup
rinci, di mana mereka tidak memiliki terlalu banyak keputusan untuk dibuat. Sementara
mungkin murid-murid lainnya sudah siap untuk menjelajah dan menggunakan
kreativitas mereka.
e.
Tergantung (dependent) - Mandiri (Independent)
Walaupun pada akhirnya
kita mengharapkan bahwa semua murid kita dapat belajar, berpikir, dan
menghasilkan pekerjaan secara mandiri, namun sama seperti tinggi badan, mungkin
seorang anak akan lebih cepat bertambah tinggi daripada yang lain. Dengan kata lain,
beberapa murid mungkin akan siap untuk kemandirian yang lebih awal daripada
yang lain.
f.
Lambat - Cepat
Beberapa murid dengan
kemampuan yang baik dalam suatu mata pelajaran mungkin perlu bergerak cepat
melalui materi yang telah ia kuasai dan diberikan sedikit tantangan. Tetapi di
lain waktu, murid yang sama mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu daripada
yang lain untuk mempelajari topik yang lain.
Perlu diingat bahwa
kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini
lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki
murid saat ini, sesuai dengan pengetahuan atau keterampilan baru yang akan diajarkan.
Adapun tujuan memperhatikan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan
belajar ini adalah untuk memastikan bahwa semua siswa diberikan pengalaman belajar
yang menantang secara tepat (Santangelo & Tomlinson (2009) dalam Joseph
et.al (2013: 29)).
2. Minat Murid
Minat merupakan suatu
keadaan mental yang menghasilkan respons terarah kepada suatu situasi atau
objek tertentu yang menyenangkan dan memberikan kepuasan diri. Tomlinson (2001:
53), mengatakan bahwa tujuan melakukan pembelajaran yang berbasis minat,
diantaranya adalah sebagai berikut:
·
membantu
murid menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah dan kecintaan mereka sendiri
untuk belajar;
·
mendemonstrasikan
keterhubungan antar semua pembelajaran;
·
menggunakan
keterampilan atau ide yang dikenal murid sebagai jembatan untuk mempelajari ide
atau keterampilan yang kurang dikenal atau baru bagi mereka, dan;
·
meningkatkan
motivasi murid untuk belajar.
Minat sebenarnya dapat
kita lihat dalam 2 perspektif. Yang pertama sebagai minat situasional. Dalam perspektif
ini, minat merupakan keadaan psikologis yang dicirikan oleh peningkatan perhatian,
upaya, dan pengaruh, yang dialami pada saat tertentu. Seorang anak bisa saja tertarik
saat seorang gurunya berbicara tentang topik hewan, meskipun sebenarnya ia
tidak menyukai topik tentang hewan tersebut, karena gurunya berbicara dengan cara
yang sangat menghibur, menarik dan menggunakan berbagai alat bantu visual. Yang
kedua, minat juga dapat dilihat sebagai sebuah kecenderungan individu untuk terlibat
dalam jangka waktu lama dengan objek atau topik tertentu.
Minat ini disebut juga
dengan minat individu. Seorang anak yang memang memiliki minat terhadap hewan, maka
ia akan tetap tertarik untuk belajar tentang hewan meskipun mungkin saat itu guru
yang mengajar sama sekali tidak membawakannya dengan cara yang menarik atau
menghibur.
Karena minat adalah
salah satu motivator penting bagi murid untuk dapat ‘terlibat aktif’ dalam
proses pembelajaran, maka memahami kedua perspektif tentang minat di atas akan membantu
guru untuk dapat mempertimbangkan bagaimana ia dapat mempertahankan atau
menarik minat murid-muridnya dalam belajar.
Beberapa cara yang
dapat dilakukan oleh guru untuk menarik minat murid diantaranya adalah dengan:
·
menciptakan
situasi pembelajaran yang menarik perhatian murid (misalnya dengan humor,
menciptakan kejutan-kejutan, dsb);
·
menciptakan
konteks pembelajaran yang dikaitkan dengan minat individu murid;
·
mengkomunikasikan
nilai manfaat dari apa yang dipelajari murid,
·
menciptakan
kesempatan-kesempatan belajar di mana murid dapat memecahkan persoalan
(problem-based learning).
Seperti juga kita
orang dewasa, murid juga memiliki minat sendiri. Minat setiap murid tentunya
akan berbeda-beda. Sepanjang tahun, murid yang berbeda akan menunjukkan minat pada
topik yang berbeda. Gagasan untuk membedakan melalui minat adalah untuk
"menghubungkan" murid pada pelajaran untuk menjaga minat mereka.
Dengan menjaga minat murid tetap tinggi, diharapkan dapat meningkatkan kinerja
murid. Hal lain yang perlu disadari oleh guru terkait dengan pembelajaran
berbasis minat adalah bahwa minat murid dapat berkembang. Pembelajaran berbasis
minat seharusnya tidak hanya dapat menarik dan memperluas minat murid yang
sudah ada, tetapi juga dapat membantu mereka menemukan minat baru.
Untuk membantu guru
mempertimbangkan pilihan yang mungkin dapat diberikan pada murid, guru dapat mempertimbangkan
area minat dan moda ekspresi yang mungkin digunakan oleh murid-murid mereka.
(Tomlinson, 2001)
3.
Profil Belajar Murid
Profil Belajar mengacu
pada cara-cara bagaimana kita sebagai individu paling baik belajar. Tujuan dari
memperhatikan kebutuhan belajar murid berdasarkan profil belajar adalah untuk memberikan
kesempatan kepada murid untuk belajar secara alami dan efisien. Sebagai guru,
kadang-kadang kita secara tidak sengaja cenderung memilih gaya belajar yang sesuai
dengan gaya belajar kita sendiri. Padahal kita tahu setiap anak memiliki profil
belajar sendiri. Memiliki kesadaran tentang ini sangat penting agar guru dapat
memvariasikan metode dan pendekatan mengajar mereka.
Profil belajar murid terkait
dengan banyak faktor. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:
·
Preferensi
terhadap lingkungan belajar, misalnya terkait dengan suhu ruangan, tingkat kebisingan,
jumlah cahaya, apakah lingkungan belajarnya terstruktur/tidak terstruktur, dsb.
Contohnya: mungkin ada anak yang tidak dapat belajar di ruangan yang terlalu dingin,
terlalu bising, terlalu terang, dsb.
·
Pengaruh
Budaya: santai - terstruktur, pendiam - ekspresif, personal - impersonal.
·
Preferensi
gaya belajar.
Gaya belajar adalah
bagaimana murid memilih, memperoleh, memproses, dan mengingat informasi baru. Secara
umum gaya belajar ada tiga, yaitu:
1.
visual: belajar dengan melihat (misalnya melalui materi yang berupa gambar,
diagram, power point, catatan, peta konsep, graphic organizer, dsb);
2.
auditori: belajar dengan mendengar (misalnya mendengarkan penjelasan guru,
membaca dengan keras, mendengarkan pendapat saat berdiskusi, mendengarkan
musik);
3.
kinestetik: belajar sambil melakukan (misalnya sambil bergerak, melakukan
kegiatan hands on, dsb).
Mengingat bahwa murid-murid
kita memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, maka penting bagi guru untuk berusaha
untuk menggunakan kombinasi gaya mengajar.
·
Preferensi
berdasarkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences): Teori tentang
kecerdasan majemuk menjelaskan bahwa manusia sebenarnya memiliki delapan
kecerdasan berbeda yang mencerminkan berbagai cara kita berinteraksi dengan dunia.
Kecerdasan tersebut adalah visual-spasial, musical, bodily-kinestetik, interpersonal,
intrapersonal, verbal-linguistik, naturalis, logic-matematika. Guru dapat mengetahui
kebutuhan belajar murid dengan berbagai cara.
Berikut ini adalah beberapa contoh cara-cara yang
dapat dilakukan guru untuk mengetahui kebutuhan belajar murid:
ü mengamati perilaku
murid-murid mereka;
ü mencari tahu pengetahuan
awal yang dimiliki oleh murid terkait dengan topik yang akan dipelajari;
ü melakukan penilaian
untuk menentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka saat ini, dan kemudian
mencatat kebutuhan yang diungkapkan oleh informasi yang diperoleh dari proses
penilaian tersebut;
ü mendiskusikan
kebutuhan murid dengan orang tua atau wali murid;
ü mengamati murid ketika
mereka sedang menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas;
ü bertanya atau
mendiskusikan permasalahan dengan murid;
ü membaca rapor murid dari
kelas mereka sebelumnya untuk melihat komentar dari guru-guru sebelumnya atau
melihat pencapaian murid sebelumnya;
ü berbicara dengan guru
murid sebelumnya;
ü membandingkan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai dengan tingkat pengetahuan atau keterampilan yang
ditunjukkan oleh murid saat ini;
ü menggunakan berbagai penilaian
diagnostik untuk memastikan bahwa murid telah berada dalam level yang sesuai;
ü melakukan survey
untuk mengetahui kebutuhan belajar murid;
ü mereview dan melakukan
refleksi terhadap praktik pengajaran mereka sendiri untuk mengetahui
efektivitas pembelajaran mereka;
ü dll.
Daftar di atas hanya beberapa
contoh saja. Masih banyak cara lain yang dapat guru lakukan untuk mendapatkan
informasi atau mengidentifikasi kebutuhan belajar murid-muridnya. Dapatkah
Bapak/Ibu mengidentifikasi kebutuhan belajar murid dengan cara lainnya?
Mendapatkan informasi
tentang kebutuhan belajar murid, tidak selalu harus melibatkan sebuah kegiatan
yang rumit. Guru yang memperhatikan dengan saksama hasil penilaian formatif, perilaku
murid, refleksi murid, dan terbiasa mendengarkan dengan baik murid-muridnya biasanya
akan lebih mudah mengetahui kebutuhan belajar murid-muridnya. Membuat catatan tentang
profil murid juga akan sangat membantu guru menyesuaikan proses pembelajaran dengan
kebutuhan murid-muridnya.
Apa
Peran Penilaian dalam Pembelajaran Berdiferensiasi? Anda tentu tahu dan mungkin
pernah berhubungan dengan seorang dokter. Dalam bekerja, ketika seorang dokter membantu
pasiennya, maka yang akan ia lakukan adalah menegakkan diagnosis. Diagnosis yang
ia buat tentunya didasarkan pada pengetahuan dan ilmu sains kedokteran yang telah
ia pelajari. Namun, dokter tidak hanya dapat bekerja berdasarkan diagnosis. Ia juga
perlu membangun rasa percaya pasien agar si pasien mau mengikuti apa yang ia
sarankan untuk mereka. Tanpa rasa percaya dari si pasien, apa yang disarankan
oleh dokter mungkin tidak akan dilakukan oleh si pasien. Nah, agar dapat tercipta
rasa saling percaya, maka dokter yang baik akan membangun hubungan komunikasi yang
baik, jujur, dan terbuka kepada pasiennya. Dokter hanya akan meresepkan obat
setelah ia menegakkan diagnosis.
Sama
seperti seorang dokter, seorang guru juga akan berada dalam situasi yang mungkin
serupa. Saat ia mengajar, ia akan mendasarkan praktiknya pada pengetahuan dan keterampilan
yang ia miliki yang berhubungan dengan mata pelajaran yang ia ampu dan ilmu pedagogi.
Namun demikian, ia juga harus membangun komunikasi dan kepercayaan murid-muridnya,
agar murid-muridnya tersebut mau mengikuti instruksi dan saran-saran yang ia
berikan. Tanpa membangun rasa percaya dan komunikasi yang baik, tidak akan terjadi
hubungan positif antara murid dan guru, sehingga akan sulit bagi guru untuk memotivasi
murid untuk mencapai tujuannya. Baik guru maupun dokter sebenarnya sama-sama melakukan
asesmen. Lewat proses asesmen ini, Dokter akan menghasilkan diagnosa tentang pasiennya
sedangkan guru akan menemukan kebutuhan belajar muridnya.
Guru
juga perlu berkomunikasi dan membangun hubungan saling percaya dengan murid-muridnya
untuk mengetahui perasaan, latar belakang, keinginan, minat dari murid-muridnya.
Kesemua informasi tersebut kemudian akan digunakan oleh guru untuk merancang pembelajaran
yang sesuai untuk murid-murid mereka, dengan harapan murid-murid akan merespon dengan
baik pembelajaran yang telah dirancangnya. Proses mengidentifikasi kebutuhan murid
inilah yang terkadang terlewat dilakukan oleh guru. Padahal, sama seperti seorang
dokter, ia tidak bisa meresepkan obat tanpa diagnosis. Demikian pula seharusnya
seorang guru. Tanpa mengetahui kebutuhan belajar murid, akan sulit baginya untuk
bisa memberikan pengalaman belajar yang tepat untuk murid-muridnya.
Dalam
praktik pembelajaran berdiferensiasi, proses penilaian memegang peranan yang
sangat penting. Guru diharapkan memiliki pemahaman yang berkembang secara terus
menerus tentang kemajuan akademik murid-muridnya agar ia bisa merencanakan pembelajaran
sesuai dengan kemajuan tersebut. Guru diharapkan dapat mengetahui dimana posisi
murid-muridnya saat mereka akan belajar dan mengaitkannya dengan tujuan pembelajaran
yang diharapkan. Ini tentunya akan berbeda-beda untuk setiap murid, untuk
setiap mata pelajaran, untuk setiap materi, dan bahkan untuk setiap waktu, karena
kondisi psikologis dan kemampuan seorang anak mungkin saja berbeda dari waktu ke
waktu. Penilaian, dalam hal ini akan berfungsi seperti sebuah kompas yang mengarahkan
dalam praktik pembelajaran berdiferensiasi.
Tomlinson
& Moon (2013: 18) mengatakan bahwa penilaian adalah proses mengumpulkan, mensintesis,
dan menafsirkan informasi di kelas untuk tujuan membantu pengambilan keputusan guru.
Ini mencakup berbagai informasi yang membantu guru untuk memahami murid mereka,
memantau proses belajar mengajar, dan membangun komunitas kelas yang efektif.
Di
dalam kelas, kita dapat memandang penilaian dalam 3 perspektif:
1. Assessment for learning - Penilaian yang dilakukan selama
berlangsungnya proses pembelajaran dan biasanya digunakan sebagai dasar untuk
melakukan perbaikan proses belajar mengajar. Berfungsi sebagai penilaian formatif.
Sering disebut sebagai penilaian yang berkelanjutan (ongoing assessment)
2. Assessment of learning - Penilaian yang dilaksanakan setelah
proses pembelajaran selesai. Berfungsi sebagai penilaian sumatif
3. Assessment as learning - Penilaian sebagai proses belajar
dan melibatkan murid-murid secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut.
Penilaian ini juga dapat berfungsi sebagai penilaian formatif.
Dalam
praktik pembelajaran berdiferensiasi, penilaian formatif memegang peranan yang sangat
penting. Mengapa? Berbeda dengan penilaian sumatif yang biasanya dilakukan
setelah sebuah unit atau proses pembelajaran selesai -- sehingga biasanya hasilnya
digunakan untuk membuat keputusan tentang sang anak, misalnya untuk memutuskan
nilai rapor anak, kenaikan kelas, dsb -- maka penilaian formatif dilakukan saat
proses pembelajaran masih berlangsung. Penilaian formatif ini bersifat memonitor
proses pembelajaran, dan dilakukan secara berkelanjutan serta konsisten, sehingga
akan membantu guru untuk memantau pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan
murid yang berkembang terkait dengan topik atau materi yang sedang dipelajari. Hasil
dari penilaian ini akan menjadi sumber yang sangat berharga untuk mengidentifikasi
atau memetakan kebutuhan belajar murid, sehingga lewat proses ini, guru akan dapat
mengetahui bagaimana ia dapat melanjutkan proses pengajaran yang ia lakukan dan
memaksimalkan peluang bagi tercapainya pertumbuhan dan kesuksesan murid dalam
materi atau topik tersebut.
Lalu
seperti apa dan bagaimana melakukan penilaian formatif ini? Karena sifatnya memonitor
pembelajaran, maka penilaian formatif ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
strategi dan tidak hanya dapat dilakukan secara tertulis. Penilaian ini dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan setiap hari, misalnya lewat
mengamati, menanya, merefleksi, berdiskusi (baik dengan teman sebaya maupun
guru), dan sebagainya.
Berikut
ini adalah beberapa contoh strategi penilaian formatif, selain yang mungkin telah
sering dilakukan guru dalam bentuk tes tertulis:
1.
Tiket Keluar. Guru memberikan pertanyaan yang diajukan kepada semua murid
sebelum kelas berakhir. Murid menulis jawaban mereka pada kartu atau selembar kertas
dan menyerahkannya saat mereka keluar kelas. Teknik penilaian formatif ini melibatkan
semua murid dan memberikan bukti yang sangat penting tentang pembelajaran saat
itu bagi guru.
2.
Tiket Masuk. Guru juga bisa memberikan sebuah pertanyaan kepada semua murid sebelum
pelajaran dimulai. Jawaban murid dapat digunakan untuk menilai pemahaman awal
murid terkait dengan materi yang akan didiskusikan atau sebagai ringkasan
pemahaman murid terhadap materi hari sebelumnya.
3.
Berbagi 30 Detik. Dengan strategi ini, murid secara bergiliran berbagi apa yang
telah ia pelajari dalam pelajaran selama 30 detik. Target yang Anda cari dalam kegiatan
ini adalah bagaimana pemahaman murid dikaitkan dengan kriteria keberhasilan yang
diharapkan. Dapat dijadikan sebagai rutinitas di akhir pelajaran sehingga semua
murid memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, berbagi wawasan, dan
mengklarifikasi apa yang dipelajari.
4.
Nama dalam toples. Guru bisa meminta murid menulis nama mereka di selembar potongan
kertas & kemudian memasukkannya dalam toples. Guru kemudian bisa mengajukan
sebuah pertanyaan tentang konsep kunci yang sedang dipelajari, kemudian secara random
mengambil sebuah potongan kertas di toples, dan meminta beberapa anak yang namanya
tertulis di potongan kertas tersebut menjawab pertanyaan secara bergantian.
5.
Gurnakan startegi 3-2-1 di akhir pembelajaran, strategi ini memberikan murid cara
untuk merangkum atau bahkan mempertanyakan apa yang baru saja mereka pelajari.
Tiga petunjuk dapat disediakan bagi murid untuk menanggapi yaitu: 3 hal yang tidak
murid ketahui sebelumnya, 2 hal yang mengejutkan murid tentang topik tersebut,
1 hal yang ingin murid mulai lakukan dengan apa yang telah dipelajari.
6.
Refleksi. Apapun bentuk refleksi yang dilakukan, refleksi dapat menjadi alat penilaian
formatif yang sangat berguna bagi guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman
murid dan apa yang masih menjadi kebingungan mereka.
7.
Pojok pemahaman. Minta murid pergi ke pojok-pojok kelas sesuai dengan pemahaman
mereka. Jika mereka tidak memahami topik yang sedang dibahas, mereka dapat pergi
ke salah satu sudut dengan murid yang memiliki tingkat pemahaman yang sama.
Sementara jika sudah memahami, mereka dapat pergi ke sudut yang lain. Ini dapat
menjadi informasi buat guru, misalnya jika guru ingin memasangkan murid yang “sudah
mengerti” dengan murid yang kesulitan dan meminta murid berkolaborasi untuk memahami
materi yang menantang.
8.
Strategi 5 jari. Minta murid mendeskripsikan pemahaman mereka terkait topik yang
diajarkan dengan menggunakan 5 jari. 5 jika mereka sudah paham sekali, 1 jika
mereka tidak paham sama sekali. Cara ini cukup cepat dan mudah untuk mengetahui
gambaran umum pemahaman murid. Jika guru ingin mengetahui secara lebih spesifik,
tentu saja guru perlu untuk menggali lebih dalam dari sumber-sumber lainnya.
Masih
banyak lagi strategi penilaian formatif yang dapat digunakan oleh guru, tanpa harus
selalu membuat penilaian tertulis. Penilaian secara tertulis tentu saja juga
masih akan diperlukan, namun guru dapat memvariasikannya dengan strategi-strategi
penilaian yang lain juga. Mendengarkan dengan saksama saat murid berdiskusi
atau bertanya, memperhatikan hasil pekerjaan tertulis mereka, juga dapat menjadi
cara yang sangat berguna untuk mengetahui kebutuhan belajar murid. Pada intinya,
kemampuan menilai dan menganalisis hasil penilaian ini akan menjadi
keterampilan yang sangat penting bagi guru, jika mereka ingin dapat mengimplementasikan
pembelajaran berdiferensiasi dengan sukses.
Tertarik
silahkan baca lebih lanjut Buku Juknis Menerapkan Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid Seri Pendidikan Guru Penggerak.
Demikian
infomasi tentang Juknis atau Cara
Menerapkan Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid. Semoga ada
manfaatnya.