Link download Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta Jamur (Kementerian Kesehatan). Saat ini, Indonesia memiliki 350 sampai 370 spesies ular dimana 77 jenis diantaranya adalah berbisa. Angka insiden setiap tahun diperkirakan sekitar 135.000 kasus berdasarkan laporan sepanjang 10 tahun terakhir yang dilakukan oleh Indonesia Toxinology Society den gan angka kematian 10% per tahun. Data tersebut di atas masih belum bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya berdasarkan laporan dari para klinisi di lapangan yaitu dari Rumah Sakit dan Puskesmas serta dari masyarakat dan belum dikumpulkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan (Maharani, 2021). Dari kasus yang sangat banyak ini Indonesia sampai saat ini belum memiliki managemen penanganan gigitan hewan berbisa dan tumbuhan serta jamur beracun.
Pendidikan dan pengetahuan tentang gigitan
ular sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar dapat menurunkan angka kecacatan
dan kematian. Kementerian Kesehatan diharapkan mempunyai program terhadap kasus
ini sehingga tenaga medis mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup. Hal -
hal penting ini mencakup identifikasi spesies ular yang penting secara medis,
diagnosis klinis dan penggunaan antivenom yang tepat serta pengobatan tambahan.
Dalam buku
Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta
Jamur, dinyatakan bahwa Edukasi masyarakat telah terbukti merupakan
strategi efektif untuk mencegah gigitan ular, juga menyadarkan akan banyak
mistis dan mitos tentang gigitan ular di masyarakat . Pada ban yak negara, desa
dijadikan sasaran untuk per temuan sadar gigitan ular, yang melibatkan para
pemimpin politik, sukarelawan, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan tokoh agama,
pekerja sosial dan penduduk desa lainnya. Di Indonesia, sejak 2013, Indonesia Toxinology
Society dan tenaga medis bekerjasama secara berkala dengan Herpetolog untuk
belajar tentang identifikasi ular dan pengelolaan gigitan ular. Di Papua Barat,
gereja dan orga nisasi keagamaan lain mempunyai peran penting dalam kampanye
pendidikan tentang gigitan ular. Para perancang kegiatan informasi, edukasi dan
komunikasi perlu mempertimbangkan upaya mencegah gigitan ular perlu
mempertimbangkan infrastruktur, demo grafi dan topografi.
Salah satu cara merencanakan penanganan
gigitan ular adalah :
1. Mempersiap
kan stok:
• Mendapatkan
stok SABU (Serum Anti Bisa Ular)
• Melatih
petugas kesehatan dalam bidang pencegahan gigitan ular dan pertolongan pertama.
• Kesiapsiagaan
dan pencegahan ha rus secara khusus diperhatikan .
2. Penyerapan
racun tidak boleh dianggap tidak ada bila tidak terlihat bekas taring. 3,8%
orang yang tidak memperlihatkan bekas taring ternyata telah menyerap bisa.
Gigitan ular welang dan ular weling (Bungarus spp.) terutama sulit
divisualisasi, bahkan beberapa saat setelah terjadi gigitan.
3. Pertimbangkanlah
gigitan ular dalam diagnosis dif erensial berupa perubahan pada organ sensor yang
tidak dapat dijelaskan, perubahan pada pola bicara dan menelan, serta sakit
perut, terutama pada musim hujan. Pasien mungkin memperlihatkan gejala
keracunan bisa, tanpa ada sejarah digigit oleh ular.
4.
Gigitan oleh pemangsa yang tidak diketahui harus dianggap serius dan perlu
dilakukan pengamatan untuk melihat tanda-tanda envenoma si (keracunan). 14%
dari orang yang tidak bisa mengidentifikasi gigitan berasal dari spesies
predator, ternyata mengalami kerac unan bisa.
5. Jangan
mengandalkan kemampuan pasien atau keluarganya untuk mengidentifikasi ular.
Kemampuan untuk identifikasi untuk spesies ular masih lemah, walaupun lebih
baik untuk ular kobra.
6.
Antivenom atau antibisa harus diberikan hanya kepada pasien yang menunjukkan
gejala keracunan bisa atau envenomasi. Memberikan antibisa (antivenom) tanpa
gejala sistemik envenomasi bisa memaparkan orang pada risiko reaksi merugikan
(alergi dan anafilaksis) dan biayanya mahal, terutama pada situasi dimana kebutuhan
melam paui pasokan.
Inovasi yang perlu diperhatikan:
1. Sebagian
besar edukasi kesehatan masyarakat perlu diarahkan pada anak-anak dan pemuda,
lelaki dan perempuan. Kelompok usia 10 -19 tahun adalah interval puncak usia
untuk gigitan. Jumlah lelaki dan perempu an yang digigit hampir sama.
2. Mendorong
penggunaan pelindung kaki dan celana Panjang karena dari data WHO 67% dari
gigitan terjadi di kaki dan telapak kaki.
3. Menggunakan
tongkat untuk mengusir ular, sebelum bekerja menggunakan tangan. Ini akan
menurunkan jumlah gigitan dimana tangan diletakkan di habitat mikro ular tanpa
terlebih dahulu melakukan visualisasi tempat itu.
4. Perbaiki
pencahayaan dengan:
• Senter
saat berjalan di luar.
• Cahaya
lampu di dalam dan sekitar rumah. 40% gigitan terjadi antara pukul 17.00 -
22.00. 59.2% gigitan terjadi di dan sekitar rumah. Pencahayaan akan membuat
visualisasi ular lebih baik.
5.
Menyediakan toilet/WC dan informasi tentang cara menggunakannya. 8% dari
gigitan terjadi saat orang pergi ke ladang/lapangan untuk tujuan buang air
besar di tempat terbuka.
6. Mendorong
orang untuk tidur di tempat tidur di bawah kawat nyamuk/kelambu yang dipasang
dengan baik. 10% orang digigit saat mereka tidur. Tidur di lantai meningkatkan
risiko terkena gigitan ular enam kali lipat. Tidur di bawah kawat nyamuk/kelambu
mengurangi risiko terkena gigitan ular enam kali lipat.
7. Menyediakan
zona penyangga antara ladang dan kawasan perumahan. 59,2% dari gigitan terjadi
di dan sekitar rumah. Ular tertarik pada tikus yang datang untuk makan gabah.
Menempatkan pe nyimpanan gabah di jarak yang terpisah dari rumah akan
menurunkan kunjungan ular ke kawasan perumahan
8. Pastikan
tempat tidur terpisah dari tempat penyimpanan, penyediaan dan konsumsi pangan. Kehadiran
tikus yang berkaitan dengan tempat makanan cenderung menarik ular. Jika orang
tidur di tempat yang terpisah dari bagian rumah yang berkaitan dengan makanan,
maka akan mengurangi risiko orang bersinggungan dengan ular. Kementerian Pendidikan
harus memadukan pertolongan pertama yang tepat di dalam buku pelajaran sekolah.
9. Sedangkan
untuk hewan laut berbisa, tumbuhan dan jamur beracun identifikasi akan dibantu
oleh pusat keracunan Indonesia yang akan dibuat dan dapat dikonsulkan oleh
masyarakat dan medis secara daring dan dibantu orang- orang yang kompeten serta
bersertifikat sebagai ahli toksin, herpetology, ahli hewan laut berbisa atau
ahli tumbuhan dan jamur beracun serta semua identifikasi, tata laksana dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum berdasarkan riset yang benar dan
ilmiah (WHO, 2016).
Adanya buku
Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta
Jamur diharapkan dapat menjadi acuan dalam penanganan kasus gigitan,
sengatan hewan berbisa dan keracunan yang seringkali terjadi di berbagai
daerah.
Selengkapnya silahkan download dan baca buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan
Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta Jamur. LINK DOWNLOAD DISINI
Demikian informasi tentang buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan
Berbisa Dan Keracunan Tumbuhan serta Jamur (Kementerian Kesehatan /
Kemenkes). Semoga ada manfaatnya.