Pengertian Kurikulum Merdeka, Prinsip Kurikulum Merdeka, Kerangka Kurikulum Kurikulum Merdeka, Capaian Pembelajaran dan Struktur Kurikulum Merdeka. Pengertian Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Kurikulum Merdeka dirancang sebagai bagian dari upaya Kemendikbudristek untuk mengatasi krisis belajar yang telah lama kita hadapi, dan menjadi semakin parah karena pandemi. Krisis ini ditandai oleh rendahnya hasil belajar peserta didik, bahkan dalam hal yang mendasar seperti literasi membaca. Krisis belajar juga ditandai oleh ketimpangan kualitas belajar yang lebar antar wilayah dan antar kelompok sosial-ekonomi.
Prinsip
Perancangan Kurikulum Merdeka. Prinsip perancangan (design
principles) kurikulum perlu ditetapkan sebagai pegangan dalam proses
perancangan kurikulum. Prinsip ini digunakan untuk mengambil keputusan terkait
dua hal, yaitu rancangan/desain kurikulum yang akan dipilih dan proses kerja
atau metode perancangan kurikulum. Dengan demikian, baik hasil (rancangan
kurikulum) maupun prosesnya perlu memenuhi prinsip-prinsip perancangan
Kurikulum Merdeka.
Prinsip-prinsip ini dikembangkan
berdasarkan visi pendidikan Indonesia, teori dan hasil penelitian terkait
perancangan kurikulum, serta berbagai praktik baik yang diperoleh melalui
kajian literatur dan diskusi terpumpun bersama pakar kurikulum. OECD (2020a)
melakukan kajian terhadap proses perubahan rancangan (redesigning) kurikulum di
beberapa negara dan mensintesiskan prinsip-prinsip perancangan kurikulum yang
dinilai efektif dan mendorong proses yang sistematis dan akuntabel. OECD
membagi prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat kelompok sesuai ruang lingkup
dimana prinsip-prinsip tersebut perlu diaplikasikan: (1) terkait dengan
perancangan kurikulum atau standar capaian dalam setiap disiplin ilmu, ada tiga
prinsip yang perlu diperhatikan yaitu: fokus, keajegan, dan koherensi; (2) dalam
merancang kurikulum yang berlaku untuk seluruh disiplin ilmu, prinsip yang
perlu dipenuhi adalah kemampuan untuk transfer kompetensi, interdisipliner, dan
pilihan; (3) dalam merancang kebijakan kurikulum di level yang lebih makro
prinsip yang dipegang adalah keaslian atau otentisitas, fleksibilitas, dan
keselarasan; dan (4) terkait dengan proses kerja perancangan kurikulum, prinsip
yang perlu dipegang adalah pelibatan (engagement), keberdayaan atau kemerdekaan
siswa, dan keberdayaan atau kemerdekaan guru.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan
salah satu rujukan dalam menentukan prinsip-prinsip yang digunakan sepanjang
perancangan Kurikulum Merdeka. Namun demikian, landasan utama perancangan
Kurikulum Merdeka adalah filosofi Merdeka Belajar yang juga melandasi
kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Rencana Strategis Kementerian pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024
(Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020). Permendikbud tersebut mengindikasikan bahwa
Merdeka Belajar mendorong perubahan paradigma, termasuk paradigma terkait
kurikulum dan pembelajaran.
Perubahan paradigma yang
dituju antara lain menguatkan kemerdekaan guru sebagai pemegang kendali dalam
proses pembelajaran, melepaskan kontrol standar-standar yang terlalu mengikat
dan menuntut proses pembelajaran yang homogen di seluruh satuan pendidikan di
Indonesia, dan menguatkan student agency, yaitu hak dan kemampuan peserta didik
untuk menentukan proses pembelajarannya melalui penetapan tujuan belajarnya,
merefleksikan kemampuannya, serta mengambil langkah secara proaktif dan
bertanggung jawab untuk kesuksesan dirinya.
Dalam mendukung upaya ini,
“kurikulum yang terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan berkarakteristik
fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan karakter dan
keterampilan lunak (soft skills), dan akomodatif terhadap kebutuhan dunia”
(Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020, p.55). Filosofi Merdeka Belajar yang
dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga menjadi landasan
penting dalam merumuskan prinsip perancangan kurikulum. Menurut Dewantara,
kemerdekaan merupakan tujuan pendidikan sekaligus sebagai prinsip yang
melandasi strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Kemerdekaan sebagai tujuan
belajar, menurut Dewantara, dicapai melalui pengembangan budi pekerti,
sebagaimana yang ditulisnya (2013; p.25): Budi pekerti, watak atau karakter,
itulah bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu
menimbulkan tenaga…. Dengan adanya ‘budi pekerti’ itu tiap-tiap manusia berdiri
sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri
sendiri. Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan
dalam garis besarnya.
Tujuan tersebut memadukan
kemampuan kognitif (pikiran), kecerdasan sosial-emosional (perasaan), kemauan
untuk belajar, bersikap, dan mengambil tindakan (disposisi atau afektif) untuk
melakukan perubahan. Budi Pekerti mengarah pada pengembangan kemampuan untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang memiliki kemampuan
untuk mengatur diri menentukan arah belajar mereka. Visi Ki Hajar Dewantara
semakin relevan dan semakin mendesak untuk dicapai oleh generasi muda Indonesia
saat ini. Untuk menghasilkan kurikulum yang sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional
dan visi pendidikan para pendiri bangsa, maka prinsip yang menjadi pegangan dalam proses perancangan kurikulum
merdeka adalah sebagai berikut:
1. Sederhana, mudah
dipahami dan diimplementasikan
2. Fokus pada kompetensi
dan karakter semua peserta didik
3. Fleksibel
4. Selaras
5. Bergotong royong
6. Memperhatikan hasil
kajian dan umpan balik
Kerangka Kurikulum Merdeka. Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan
dalam Pasal 36 bahwa kurikulum terdiri atas kerangka dasar kurikulum dan
struktur kurikulum. Kerangka kurikulum merupakan rancangan landasan utama dalam
pengembangan struktur kurikulum. Dalam Pasal 38, disebutkan pula bahwa kerangka
dasar kurikulum dan struktur kurikulum menjadi landasan bagi pengembangan
kurikulum satuan pendidikan. Dengan demikian, ada pemisahan antara: (1)
kerangka kurikulum dan (2) kurikulum yang dikembangkan di satuan pendidikan.
Kurikulum yang kedua ini biasa disebut juga sebagai kurikulum operasional
(Ornstein & Hunkins, 2018) karena kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan menjadi kurikulum yang benar-benar “dioperasikan” atau digunakan
secara konkrit.
Selain
prinsip perancangan kurikulum yang telah dijelaskan pada bagian pertama bab
ini, perancang kurikulum perlu memahami makna kurikulum dari perspektif yang
berbeda-beda. Dengan menyadari adanya perbedaan definisi, perancang kurikulum
menjadi lebih peka dalam menyiapkan berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan kurikulum itu sendiri, yaitu pembelajaran yang dapat
“mengembangkan kemampuan dan
membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3).
Untuk
sampai pada perubahan proses pembelajaran di level siswa dan mencapai tujuan
pendidikan nasional tersebut, kerangka dasar dan struktur kurikulum yang
dirancang di tingkat nasional perlu dikembangkan lagi di tingkat satuan
pendidikan. Pakar kurikulum (Schmidt et al., 1996 cit. OECD, 2020a; Valverde et
al., 2002) memvisualisasikan keterkaitan antara kerangka kurikulum yang
dikembagkan untuk level nasional sampai dengan kurikulum yang benar-benar
dipelajari peserta didik). Visualisasi sederhana ini menjadi penting dalam
memahami pentingnya keselarasan antara kebijakan kurikulum di tingkat nasional
yang lebih abstrak dengan pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan,
sampai dengan kurikulum yang benar-benar dipelajari oleh peserta didik, yang
biasanya diketahui melalui asesmen (Valverde et al., 2002).
Terdapat
empat tingkatan kurikulum (Valverde et al., 2002 yang dikembangkan dari Schmidt
et al., 1996). Pertama, kurikulum yang diharapkan (intended curriculum ) yang
merupakan kebijakan pemerintah yang resmi dikeluarkan dan berkaitan dengan apa
yang peserta didik perlu pelajari serta bagaimana mempelajari dan membuktikan
bahwa mereka telah mempelajarinya. Dengan demikian, standar dan panduan/pedoman
merupakan bagian dari jenis kurikulum ini. Kedua adalah kurikulum yang diimplementasikan
( implemented curriculum ), yaitu bagaimana kurikulum yang resmi dari
pemerintah tadi diinterpretasi dan diajarkan di satuan pendidikan dan kelas.
Valverde menambah satu komponen antara intended
dan
implemented curriculum, yaitu potentially implemented curriculum atau kurikulum
yang berpotensi untuk diimplementasikan. Termasuk dalam kategori yang ketiga
ini adalah buku teks pelajaran, atau dalam konteks Kurikulum Merdeka merupakan
perangkat ajar. Valverde et al. (2002) melihat bahwa guru seringkali tidak
merujuk langsung pada dokumen kebijakan termasuk standar yang dikeluarkan
secara resmi oleh Negara, namun merujuk pada buku teks yang sampai ke mereka.
Keempat, kurikulum yang dikenal dengan kurikulum yang dipelajari siswa (
attained curriculum atau achieved curriculum ), yang merupakan kompetensi yang
dimiliki siswa setelah mereka belajar menggunakan kurikulum.
Pakar
memisahkan keempat kurikulum tersebut untuk menganalisis keselarasan antara
yang satu dengan lainnya. Misalnya seberapa besar distorsi atau penyimpangan
antara kurikulum yang diharapkan dengan kurikulum yang diajarkan oleh guru di
kelas, serta mengapa penyimpangan itu terjadi. Hal ini merupakan simbol bahwa
kurikulum yang dipelajari oleh siswa belum tentu selaras dengan kurikulum yang
diharapkan. Bahkan kurikulum yang ditulis dalam dokumen kebijakan belum tentu
diterjemahkan dengan akurat oleh kurikulum-kurikulum di bawahnya. Bagi
perancang kurikulum, memahami konsep ini adalah langkah awal untuk memastikan
bahwa kurikulum dirancang dengan hati-hati, memastikan agar apa yang diharapkan
(intended ) benar-benar dapat diterima (attained/achieved ) oleh peserta didik.
Salah
satu prinsip utama dalam perancangan Kurikulum Merdeka adalah kebijakan yang
memberikan fleksibilitas kepada satuan pendidikan, pendidik, serta peserta
didik. Di berbagai negara, prinsip fleksibilitas kurikulum dan upaya untuk
menyederhanakan serta mengurangi kepadatan konten dilakukan dengan pemisahan
antara kerangka kurikulum dengan kurikulum operasional (OECD, 2020b; UNESCO,
2017a). Kerangka kurikulum yang ditetapkan oleh Pemerintah pun diupayakan
minimal dan lebih bersifat memandu daripada mengatur secara ketat (OECD,
2020a). Atas dasar itu, struktur kurikulum dan prinsip pembelajaran yang
ditetapkan Pemerintah diatur dengan sangat umum dan abstrak sehingga satuan
pendidikan memiliki banyak keleluasaan untuk mengembangkannya sesuai dengan
konteks dan kebutuhan belajar peserta didik.
Dalam
Struktur Kurikulum Merdeka, Pemerintah Pusat menetapkan: (1) profil pelajar
Pancasila, (2) Capaian Pembelajaran, (3) struktur kurikulum, dan (4) prinsip
pembelajaran dan asesmen sebagai kurikulum yang diharapkan untuk
diimplementasikan di satuan pendidikan dan di kelas. Profil pelajar Pancasila
sebagai sintesis dari tujuan pendidikan nasional, visi dari pendidikan dan
pengembangan sumberdaya manusia Indonesia yang termuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, serta pandangan para pendiri bangsa.
Sementara ketiga komponen lainnya merupakan turunan dari kebijakan yang lebih
besar, yaitu Tujuan Pendidikan Nasional yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan diterjemahkan sebagai profil pelajar
Pancasila, dan juga turunan dari Standar Nasional Pendidikan, khususnya Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.
Pemerintah
Pusat menetapkan (1) profil pelajar Pancasila, (2) Capaian Pembelajaran, (3)
struktur kurikulum, dan (4) prinsip pembelajaran dan asesmen sebagai kurikulum
yang diharapkan untuk diimplementasikan di satuan pendidikan dan di kelas.
Profil pelajar Pancasila sebagai sintesis dari tujuan pendidikan nasional, visi
dari pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang termuat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, serta pandangan para
pendiri bangsa. Sementara ketiga komponen lainnya merupakan turunan dari
kebijakan yang lebih besar, yaitu Tujuan Pendidikan Nasional yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan diterjemahkan sebagai
profil pelajar Pancasila, dan juga turunan dari Standar Nasional Pendidikan,
khususnya Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar
Penilaian. Kerangka ini menjadi rujukan dalam perancangan Kurikulum Merdeka,
termasuk untuk menguatkan keselarasan antara kerangka dasar kurikulum dengan
kurikulum operasional yang dikembangkan di satuan pendidikan. Perangkat ajar
adalah penghubung antara keduanya, sebagaimana yang disebut sebagai kurikulum
yang berpotensi untuk diimplementasikan di satuan pendidikan (Valverde et al.,
2002). Termasuk dalam perangkat ajar adalah buku teks siswa dan buku panduan
guru, contoh-contoh modul ajar, contoh-contoh silabus yang menjelaskan alur
tujuan pembelajaran, contoh-contoh panduan projek penguatan profil pelajar
Pancasila, contoh-contoh kurikulum operasional, contoh-contoh asesmen kelas
untuk keperluan diagnostik kesiapan peserta didik, bahkan contoh-contoh
mekanisme pengaturan pemilihan mata pelajaran untuk kelas XI dan XII.
Capaian Pembelajaran. Capaian
pembelajaran (CP) adalah kompetensi minimum yang harus dicapai peserta didik
untuk setiap mata pelajaran. CP dirancang dengan mengacu pada Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi, sebagaimana Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar (KI-KD) dalam Kurikulum 2013 dirancang. Capaian Pembelajaran
merupakan pembaharuan dari KI dan KD, yang dirancang untuk terus menguatkan
pembelajaran yang fokus pada pengembangan kompetensi. Kurikulum 2013 bahkan
kurikulum nasional yang terdahulu sudah ditujukan untuk berbasis kompetensi,
sehingga kurikulum ini meneruskan upaya tersebut. Dalam CP, strategi yang
semakin dikuatkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengurangi
cakupan materi dan perubahan tata cara penyusunan capaian yang menekankan pada
fleksibilitas dalam pembelajaran.
Pengurangan konten.
Konsekuensi dari pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi adalah perlunya
pengurangan materi pelajaran atau pokok bahasan. Penelitian yang dilakukan
Pritchett dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang
termasuk Indonesia, materi pelajaran yang begitu padat membuat guru terus
bergerak cepat menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa
memperhitungkan kemampuan siswa untuk memahami pelajaran tersebut. Menurut
Pritchett dan Beatty, hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan
anak dalam belajar. Mengajar dengan terburu-buru dan tidak menggunakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa merupakan keputusan logis
karena kebijakan kurikulum yang berlaku menilai kinerja mereka melalui ketuntasan
mengajarkan materi ajar yang begitu banyak.
Ketika pelajaran
disampaikan dengan terburu-buru, peserta didik tidak memiliki cukup waktu untuk
memahami konsep secara mendalam, yang sebenarnya sangat penting untuk
menguatkan fondasi kompetensi mereka. Pritchett dan Beatty (2015) menemukan
bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan memahami konsep di kelas-kelas
awal di sekolah dasar juga mengalami kesulitan di jenjang-jenjang berikutnya.
Artinya, padatnya materi pelajaran membawa dampak yang panjang dan siswa
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi.
Beberapa contoh konkrit penyederhanaan dan penyesuaian kompetensi dan materi
ajar dalam CP adalah pengurangan beberapa materi dalam CP Biologi SMA (Fase F)
karena terlalu banyak dan terlalu terperinci untuk jenjang tersebut,dan
penambahan materi dalam CP Kimia SMA (Fase F) tentang Nanoteknologi dan
Radioaktivitas karena keduanya semakin banyak ditemui saat ini.
Pritchett dan Beatty (2015)
serta laporan yang ditulis OECD (2018) menekankan bahwa penyederhanaan
kurikulum melalui pengurangan konten atau materi pelajaran bukan berarti
standar capaian yang ditetapkan menjadi lebih rendah. Sebaliknya, kurikulum
berfokus pada materi pelajaran yang esensial. Materi esensial ini dipelajari
dengan lebih leluasa, tidak terburu-buru sehingga siswa dapat belajar secara
mendalam, mengeksplorasi suatu konsep, melihatnya dari perspektif yang berbeda,
melihat keterkaitan antara suatu konsep dengan konsep yang lain,
mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya di situasi yang berbeda dan
situasi nyata, sekaligus merefleksikan pemahamannya tentang konsep tersebut.
Pengalaman belajar yang demikian, menurut Wiggins dan McTighe (2005), akan
memperkuat pemahaman siswa akan suatu konsep secara lebih mendalam dan
berkelanjutan.
Pandangan Wiggins dan
McTighe (2005) tersebut dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme. Di
berbagai negara, dan tidak terbatas pada negara maju saja, pendekatan
pembelajaran berbasis teori konstruktivisme ini semakin dikuatkan. Di India,
misalnya, pembelajaran berbasis konstruktivisme bahkan menjadi muatan wajib
bagi calon guru dalam kurikulum LPTK mereka (UNESCO MGIEP, 2017). Rogan (2003)
juga melaporkan bahwa Afrika Selatan, serta beberapa negara di benua Afrika
lainnya, juga secara eksplisit menyatakan dalam dokumen kurikulum mereka bahwa
teori konstruktivisme menjadi rujukan utama dalam kebijakan kurikulum dan
pembelajaran.
Pembelajaran secara
konstruktif. Teori konstruktivisme menekankan pentingnya proses pembelajaran
yang menempatkan siswa sebagai pelaku aktif pembelajaran (students as agents),
bukan sebagai penerima informasi secara pasif dari guru mereka (students as
recipients ). Menurut teori belajar konstruktivisme (constructivist learning
theory ), pengetahuan bukanlah kumpulan atau seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah untuk diingat. “Memahami” dalam konstruktivisme adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman nyata. Pemahaman tidak bersifat
statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan sepanjang siswa
mengonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang
memodifikasi pemahaman
sebelumnya. Pemahaman yang bermakna ini membutuhkan proses belajar yang
berpusat pada siswa serta waktu yang lebih panjang daripada pembelajaran yang
sekadar “menjejali” siswa dengan informasi-informasi yang kurang bermakna
karena sekadar untuk diketahui atau dihafalkan saja. Dengan demikian, sedapat
mungkin CP mengutamakan kompetensi yang perlu dicapai tanpa mengikat konteks
dan konten pembelajarannya. Berdasarkan kompetensi tersebut, satuan pendidikan
diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan konteks sekolah
dan relevan dengan perkembangan, minat, serta budaya peserta didik. Oleh karena
CP dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme, maka capaian-capaian dalam
dokumen CP perlu dipahami menggunakan kerangka teori yang sama. Istilah “pemahaman”
(understanding) dalam CP perlu dimaknai sebagaimana teori konstruktivisme di
atas. Pemahaman yang dimaksud dicapai melalui kemampuan mengaplikasikan dan
menganalisis suatu konsep. Dengan demikian konsep pemahaman ini berbeda dengan
Taksonomi Bloom yang memandang bahwa memahami (understanding - level 2) suatu
konsep membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih rendah dibandingkan
kemampuan mengaplikasikan ( applying - level 3) dan menganalisis (analyzing -
level 4) konsep (Anderson, Krathwohl, D. R., & Bloom, B. S., 2001).
Perancangan CP ini tidak
mengabaikan Taksonomi Bloom yang semula digunakan dalam perancangan KI-KD dalam
Kurikulum 2013. Sebaliknya, Taksonomi Bloom ini dianjurkan untuk digunakan
ketika guru merancang pembelajaran harian dan asesmen kelas sesuai dengan
tujuan pengembangan taksonomi, sebagaimana Anderson dan rekan-rekan (2001,
p.7): The Taxonomy framework obviously can’t directly tell teachers what is
worth learning. But by helping teachers translate standards into a common
language for comparison with what they personally hope to achieve, and by
presenting the variety of possibilities for consideration, the Taxonomy may
provide some perspective to guide curriculum decisions.
Kerangka Taksonomi tidak
dapat secara langsung mengarahkan guru apa yang patut dipelajari
[peserta didik], namun dapat membantu guru menerjemahkan standar ke dalam hal
yang ingin dicapai oleh guru [melalui pengajaran yang dilakukannya], dan dengan
memberikan beragam hal yang perlu diperhatikan, Taksonomi [Bloom] dapat
memberikan pandangan yang dapat membimbing guru dalam pembuatan keputusan
tentang kurikulum.
Anderson dan rekan-rekan
(2001) melakukan revisi terhadap Taksonomi Bloom dan secara eksplisit
menyatakan bahwa taksonomi tersebut relevan dan membantu untuk digunakan oleh
guru dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan, bukan di level
standar nasional. Taksonomi Bloom berguna untuk “menerjemahkan standar” ke
dalam istilah dan bahasa yang lebih konkrit dan operasional untuk digunakan
sehari-hari.
Dengan demikian, dalam
konteks kurikulum nasional di Indonesia, Taksonomi Bloom relevan untuk
digunakan guru dalam merancang alur tujuan pembelajaran dan asesmen kelas.
Penggunaan Fase. Perbedaan lain antara KI-KD dalam Kurikulum 2013 dengan CP
dalam Kurikulum Merdeka adalah rentang waktu yang dialokasikan untuk mencapai
kompetensi yang ditargetkan. Sementara KI-KD ditetapkan per tahun, CP dirancang
berdasarkan fase-fase. Satu Fase memiliki rentang waktu yang berbeda-beda,
yaitu: (1) Fase Fondasi yang dicapai di akhir PAUD, (2) Fase A umumnya untuk
kelas I sampai II SD/sederajat, (3) Fase B umumnya untuk kelas III sampai IV
SD/sederajat, (4) Fase C umumnya untuk kelas V sampai VI SD/sederajat, (5) Fase
D umumnya untuk kelas VII sampai IX SMP/sederajat, (6) Fase E untuk kelas X
SMA/sederajat, dan (7) Fase F untuk kelas XI sampai XII SMA/sederajat. Fase E
dan Fase F dipisahkan karena mulai kelas XI peserta didik akan menentukan mata
pelajaran pilihan sesuai minat dan bakatnya, sehingga struktur kurikulumnya
mulai berbeda sejak kelas XI.
Dengan menggunakan Fase,
suatu target capaian kompetensi dicapai tidak harus dalam satu tahun tetapi
beberapa tahun, kecuali di kelas X jenjang SMA/sederajat. Pengecualian ini
dilakukan karena struktur kurikulum di jenjang SMA/sederajat yang terbagi
menjadi dua, yaitu kelas X di mana siswa mengikuti seluruh mata pelajaran, dan
kelas XI-XII di mana siswa memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan
aspirasi masing-masing. Struktur ini akan disampaikan lebih mendalam pada
bagian terpisah dalam bab ini.
Rentang waktu yang lebih
panjang ditetapkan agar materi pelajaran tidak terlalu padat dan peserta didik
mempunyai cukup banyak waktu untuk memperdalam materi dan mengembangkan
kompetensi. Fase-fase ini diselaraskan dengan teori perkembangan anak dan
remaja dan juga dengan struktur penjenjangan pendidikan. Penggunaan istilah
“Fase” dilakukan untuk membedakannya dengan kelas karena peserta didik di satu
kelas yang sama bisa jadi belajar dalam fase pembelajaran yang berbeda. Ini
merupakan penerapan dari prinsip pembelajaran sesuai tahap capaian belajar atau
yang dikenal juga dengan istilah teaching at the right level (mengajar pada
tahap capaian yang sesuai).
Sebagai contoh, berdasarkan
asesmen kelas terdapat siswa kelas V SD yang belum siap mempelajari materi
pelajaran Fase C (fase dengan kompetensi yang ditargetkan untuk siswa kelas V
pada umumnya). Berdasarkan hasil asesmen tersebut, maka siswa-siswa tersebut
mengulang pelajaran di Fase B (fase untuk kelas III-IV) yang belum mereka
kuasai.
Pembelajaran
terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik tersebut mengindikasikan
bahwa kebijakan dan praktik tinggal kelas atau tidak naik kelas diharapkan
dapat ditinggalkan. Kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan
prestasi akademik mereka. Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta
didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan
mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa
mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik
memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap
lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik
tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar
yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang
seluruh pelajaran selama setahun.
Perubahan lain yang
signifikan dari KI-KD menjadi CP adalah format penulisan kompetensi yang ingin
dicapai serta rentang waktu yang ditargetkan untuk mempelajarinya. Dalam KI-KD
Kurikulum 2013, kompetensi-kompetensi yang dituju disampaikan dalam bentuk
kalimat tunggal yang disusun dalam poin-poin. Selain itu, dalam KI-KD terdapat
pemisahan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagaimana Taksonomi
Bloom juga memisahkan ketiga domain tersebut. Meskipun dalam Kurikulum 2013
kompetensi (KI-KD) tersebut sebenarnya saling berkaitan dan berangkaian. Namun
demikian, ketika KI-KD dituliskan sebagai poin-poin, keterkaitan antara ruang
lingkup kemampuan satu dengan yang lain tidak terdefinisikan dengan jelas.
Evaluasi Kurikulum 2013 yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kemendikbudristek mendapati bahwa sebagian guru belum melihat adanya rangkaian
yang utuh antara KD-KD dari satu KI yang sama.
Target kompetensi tersebut
kemudian ditargetkan untuk dicapai dalam rentang waktu satu tahun ajaran. CP
ditulis dalam metode yang berbeda, di mana pemahaman, sikap atau disposisi
terhadap pembelajaran dan pengembangan karakter, serta keterampilan yang
terobservasi atau terukur ditulis sebagai suatu rangkaian. Hal ini merujuk pada
makna kompetensi yang lebih dari sekadar perolehan pengetahuan dan
keterampilan, tetapi juga mengolah dan menggunakan pengetahuan, keterampilan,
sikap, serta nilai-nilai yang dipelajari untuk menghadapi situasi atau
permasalahan yang kompleks (OECD 2019; Glaesser, 2018). CP disampaikan dalam
bentuk paragraf/narasi untuk menggambarkan rangkaian konsep dan keterampilan
kunci yang ditargetkan untuk diraih oleh peserta didik, yang ditunjukkan dengan
performa yang nyata. Dengan demikian, CP diharapkan dapat memperlihatkan
rangkaian proses belajar suatu konsep ilmu pengetahuan, mulai dari memahami
suatu konsep sampai dengan menggunakan konsep ilmu pengetahuan dan
keterampilannya untuk mencapai tuntutan kognitif yang lebih kompleks (misalnya
mengajukan solusi kreatif, bukan sekadar menjawab pertanyaan).
Kompetensi juga terbangun
atas aspek kognitif yang berangkaian dengan aspek afektif atau disposisi
tentang ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.. Set atau daftar berisi
pengetahuan yang perlu dipahami, sikap yang perlu ditunjukkan, atau keterampilan
yang perlu diperlihatkan peserta didik saja, tanpa ada rangkaian antara ketiga
domain tersebut, belum dapat dimaknai sebagai pengkonstruksian kompetensi.
Untuk membangun dan mengembangkan kompetensi, peserta didik perlu mendapatkan
kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam situasi
yang spesifik dan nyata (Glaesser, 2018). Dengan menggunakan paragraf,
keterkaitan antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan proses pengembangan
kompetensi menjadi lebih jelas dan utuh sebagai satu rangkaian.
Dalam penulisannya,
struktur CP tidak berdasarkan domain-domain pemahaman, sikap/disposisi, dan
keterampilan, melainkan berbasis pada kompetensi dan/atau konsep yang esensial
dari setiap mata pelajaran. Kompetensi dan konsep tersebut disebut sebagai
elemen-elemen yang menjadi ciri khas setiap mata pelajaran, dan elemen ini
kemudian dinyatakan perkembangannya dari satu fase ke fase berikutnya. Dengan
demikian, setiap elemen secara konsisten dipelajari oleh peserta didik mulai
dari jenjang SD sampai jenjang SMA dengan kompleksitas dan kedalaman yang
berbeda, yang artinya kompetensi peserta didik pun berkembang dari fase ke
fase.
Sebagai contoh, dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia terdapat 4 elemen utama, yaitu: 1) menyimak, 2)
membaca dan memirsa, 3) berbicara dan merepresentasikan, dan 4) menulis. Sejak
Fase A (kelas I-II SD/sederajat) hingga Fase F (kelas XI-XII SMA/sederajat),
keempat elemen tersebut dipelajari dengan tingkat kompleksitas kognitif yang
terus berkembang. Bagi guru dan pengembang kurikulum, elemen ini dapat menjadi
acuan tentang kompetensi apa saja yang harus ia ajarkan kepada siswa dan
menjadi aspek yang diases oleh guru. Apabila ada siswa yang belum dapat
mengikuti pelajaran di suatu Fase, guru dapat mengecek elemen apa yang belum
dikuasai siswa tersebut dan kemudian membantunya untuk mengulang pembelajaran
elemen yang sama di fase sebelumnya. Alur perkembangan Capaian Pembelajaran
dimulai pada Fase A hingga fase tertinggi, yaitu Fase F. Pola perumusan CP ini
juga dipengaruhi oleh beberapa kerangka kurikulum yang digunakan di berbagai
negara dengan pencapaian pendidikan yang relatif tinggi. Sebagai contoh,
Australia (https://www.australiancurriculum.edu.au/) menyatakan karakteristik
utama dari setiap mata pelajaran dalam dokumen standarnya (setara dengan CP),
termasuk alasan rasional mengapa anak-anak perlu mempelajari mata pelajaran
tersebut dan domain atau elemen utama yang menjadi karakteristik khas mata
pelajaran tersebut disertai perkembangannya dari satu tahapan atau jenjang ke
tahapan berikutnya. Dengan adanya perkembangan domain-domain isi dan/atau
kompetensi suatu mata pelajaran, kompetensi utama yang akan dikembangan melalui
mata pelajaran tersebut menjadi lebih eksplisit.
Pendekatan yang sama juga
digunakan dalam kurikulum Finlandia (Finnish Board of Education, 2014), di mana
standar yang perlu dicapai disampaikan secara deskriptif mulai dari penjelasan
tentang fungsi dari mata pelajaran tersebut, kompetensi utama yang difokuskan,
capaian atau tujuan untuk kompetensi tersebut, panduan atau rambu-rambu yang
perlu diperhatikan guru atau pengembang silabus dan kegiatan pembelajaran mata
pelajaran tersebut, dan asesmen yang dianjurkan. tanpa ada rangkaian
antara ketiga domain tersebut, belum dapat dimaknai sebagai pengkonstruksian
kompetensi. Untuk membangun dan mengembangkan kompetensi, peserta didik perlu
mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya
dalam situasi yang spesifik dan nyata (Glaesser, 2018). Dengan menggunakan
paragraf, keterkaitan antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan proses
pengembangan kompetensi menjadi lebih jelas dan utuh sebagai satu rangkaian.
Dalam penulisannya,
struktur CP tidak berdasarkan domain-domain pemahaman, sikap/disposisi, dan
keterampilan, melainkan berbasis pada kompetensi dan/atau konsep yang esensial
dari setiap mata pelajaran. Kompetensi dan konsep tersebut disebut sebagai
elemen-elemen yang menjadi ciri khas setiap mata pelajaran, dan elemen ini
kemudian dinyatakan perkembangannya dari satu fase ke fase berikutnya. Dengan
demikian, setiap elemen secara konsisten dipelajari oleh peserta didik mulai
dari jenjang SD sampai jenjang SMA dengan kompleksitas dan kedalaman yang
berbeda, yang artinya kompetensi peserta didik pun berkembang dari fase ke
fase. Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat 4 elemen
utama, yaitu: 1) menyimak, 2) membaca dan memirsa, 3) berbicara dan
merepresentasikan, dan 4) menulis. Sejak Fase A (kelas I-II SD/sederajat)
hingga Fase F (kelas XI-XII SMA/sederajat), keempat elemen tersebut dipelajari
dengan tingkat kompleksitas kognitif yang terus berkembang. Bagi guru dan
pengembang kurikulum, elemen ini dapat menjadi acuan tentang kompetensi apa
saja yang harus ia ajarkan kepada siswa dan menjadi aspek yang diases oleh
guru. Apabila ada siswa yang belum dapat mengikuti pelajaran di suatu Fase,
guru dapat mengecek elemen apa yang belum dikuasai siswa tersebut dan kemudian
membantunya untuk mengulang pembelajaran elemen yang sama di fase sebelumnya.
Alur perkembangan Capaian Pembelajaran dimulai pada Fase A hingga fase
tertinggi, yaitu Fase F.
Pola perumusan CP ini juga
dipengaruhi oleh beberapa kerangka kurikulum yang digunakan di berbagai negara
dengan pencapaian pendidikan yang relatif tinggi. Sebagai contoh, Australia (https://www.australiancurriculum.edu.au/)
menyatakan karakteristik utama dari setiap mata pelajaran dalam dokumen
standarnya (setara dengan CP), termasuk alasan rasional mengapa anak-anak perlu
mempelajari mata pelajaran tersebut dan domain atau elemen utama yang menjadi
karakteristik khas mata pelajaran tersebut disertai perkembangannya dari satu
tahapan atau jenjang ke tahapan berikutnya. Dengan adanya perkembangan
domain-domain isi dan/atau kompetensi suatu mata pelajaran, kompetensi utama
yang akan dikembangan melalui mata pelajaran tersebut menjadi lebih eksplisit.
Pendekatan yang sama juga
digunakan dalam kurikulum Finlandia (Finnish Board of Education, 2014), di mana
standar yang perlu dicapai disampaikan secara deskriptif mulai dari penjelasan
tentang fungsi dari mata pelajaran tersebut, kompetensi utama yang difokuskan,
capaian atau tujuan untuk kompetensi tersebut, panduan atau rambu-rambu yang
perlu diperhatikan guru atau pengembang silabus dan kegiatan pembelajaran mata
pelajaran tersebut, dan asesmen yang dianjurkan.
Semua komponen tersebut
dijelaskan untuk setiap tahapan perkembangan (dalam Kurikulum Merdeka
diadaptasi sebagai Fase, akan dijelaskan kemudian). Sebagai standar yang
berlaku nasional, capaian merupakan tujuan yang lebih abstrak daripada tujuan
pembelajaran yang dikembangkan guru dalam silabus apalagi RPP. Contoh lain
adalah standar capaian pendidikan Matematika yang dikembangkan oleh NCTM
(National Council of Teachers of Mathematics), yang dianjurkan untuk diterapkan
secara global. Standar yang dirancang NCTM dibangun dengan asumsi bahwa setiap
anak dapat mencapai kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, standar yang
ditetapkan NCTM merupakan standar minimum yang inklusif. Paradigma ini juga
sejalan dengan prinsip perancangan Kurikulum Merdeka yang inklusif dan
berkeadilan. Standar yang ditetapkan NCTM juga distrukturkan berdasarkan domain
konten dan domain kemampuan ( performance ). Struktur ini menjadi salah satu
rujukan utama dalam CP Matematika.
Fleksibilitas pembelajaran.
Untuk menguatkan kompetensi, pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menghubungkan konsep atau teori yang dipelajarinya dengan
lingkungan atau kehidupan sekitar mereka (Glaesser, 2018; Eggen & Kauchak,
2016). Dengan demikian, fleksibilitas sangat penting bagi satuan pendidikan
untuk dapat mengembangkan pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk peserta
didik membuat kaitan-kaitan antara konsep yang dipelajari dengan situasi
setempat, sekaligus menentukan kecepatan pembelajaran setiap konsep.
Fleksibilitas CP yang memberikan keleluasaan untuk pembelajaran yang
kontekstual ini dicontohkan dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, di mana topik tentang Pemilihan Umum dapat dipelajari pada
masa-masa sekitar Pemilihan Umum di Indonesia atau daerahnya.
Untuk mengetahui tingkat
fleksibilitas Capaian Pembelajaran (CP), Pusat Kurikulum dan Pembelajaran
Kemendikbudristek bersama para pakar mata pelajaran Matematika, Bahasa
Indonesia, dan IPA melakukan analisis perbandingan antara KI-KD dengan
elemen-elemen dalam CP terkait dengan dua hal, yaitu kesesuaian antara KI-KD
dan CP dengan tahap perkembangan pembelajaran (apakah terlalu/kurang mendalam,
terlalu sulit/mudah) dan fleksibilitas untuk dikembangkan sesuai dengan konteks
lokal satuan pendidikan. Analisis kuantitatif tersebut dilakukan dengan
menghitung proporsi target kompetensi dari masing-masing kurikulum yang
menunjukkan kesesuaian dengan tahap perkembangan dan juga aspek
fleksibilitasnya.
Hasil analisis menunjukkan
bahwa CP lebih sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik dan lebih
fleksibel daripada KI-KD. Contohnya, pada mata pelajaran Matematika
elemen-elemen pada CP 50% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dibandingkan
KI-KD dan 42,31% lebih fleksibel untuk diterjemahkan satuan pendidikan. Sedangkan
untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, elemen-elemen pada CP 58,33% lebih
sesuai dengan tahap perkembangan siswa dan 100% lebih fleksibel. Untuk mata pelajaran
IPA, elemen-elemen pada CP 48,91% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa
dan 76,57% lebih fleksibel. Analisis ini menunjukkan bahwa CP memberikan fleksibilitas
yang lebih besar daripada KI-KD. Peningkatan kualitas CP.
Menurut pandangan para
guru, pembelajaran dengan kurikulum ini memiliki beberapa kelebihan seperti
capaian pembelajaran relevan dengan konteks zaman dan tingkat perkembangan
berpikir siswa. Capaian pembelajaran dapat dieksplorasi oleh guru dengan
menyesuaikan kebutuhan siswa, kearifan lokal serta situasi dan kondisi terkini.
Namun demikian, untuk implementasinya diperlukan masa adaptasi sebab baik bagi
guru maupun siswa memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda. Contohnya, untuk
guru yang sebelumnya melakukan pembelajaran dengan Kurikulum 2013 dimana
kompetensi dicapai tiap tahun perlu beradaptasi dengan capaian pembelajaran
pada kurikulum prototipe yang dirancang menjadi tiap fase. Umpan balik ini menjadi
landasan untuk memperbaiki strategi implementasi kurikulum di satuan
pendidikan.
Berdasarkan monitoring awal
yang dilaksanakan pada tahun 2021, telah dilaksanakan perbaikan mayor pada
33,33% CP mata pelajaran yang digunakan di PAUD dan Dikdasmen, serta 11,54% CP
untuk mata pelajaran khusus SMK. Perbaikan mayor tersebut meliputi perbaikan
pada beberapa aspek seperti kesesuaian CP dengan tingkat kemampuan berpikir dan
tahapan perkembangan belajar siswa, kesesuaian materi dan penjabaran capaian
pembelajaran pada tiap fase. Selain itu, dilakukan pula perbaikan minor yang
meliputi perbaikan pada aspek redaksional seperti penulisan kalimat, pemilihan kata
dan istilah serta tambahan keterangan untuk bagian tertentu. Pemilihan kata dan
istilah ini penting mengingat suatu kata dan istilah bisa memiliki makna yang
sangat beragam. Dengan demikian, CP yang diterbitkan pada tahun 2022 merupakan
versi revisi berdasarkan umpan balik yang disampaikan oleh pakar dan juga guru
sebagai pengguna Kurikulum Merdeka.
Link download referensi Kurikulum
Merdeka
Kajian
Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran
User
Manual Menggunakan Perangkat Ajar
SK
Satuan Pendidikan Pelaksana Implementasi Kurikulum Merdeka
Infografis
: Apa Itu Platform Merdeka Mengajar
Infografis
: Menggunakan Produk Perangkat Ajar Pada Platform Merdeka Mengajar
Infografis
: Road Map Platform Merdeka Mengajar
Buku
Saku Platform Merdeka Mengajar
Infografis
Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar
Pedoman
Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran
Demikian penjelasan tentang
Pengertian Kurikulum Merdeka, Prinsip Kurikulum
Merdeka, Kerangka Kurikulum Kurikulum Merdeka, Capaian Pembelajaran dan Struktur
Kurikulum Merdeka. Semoga ada manfaatnya