Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07-MENKES-342-2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis. Sejarah menunjukkan bahwa peran Indonesia dalam pengembangan Ilmu Gizi di dunia sudah sejak lama yaitu dimulai sejak ditemukannya vitamin B1 oleh Eijkman, seorang dokter Belanda pada tahun 1898 yang ditugaskan di Jawa. Riset dalam bidang gizi yang dilakukan oleh Eijkman pada tahun 1898 membuktikan bahwa terjadinya beberapa penyakit dapat disebabkan karena tidak adanya suatu zat tertentu dalam pangan. Hal itu ditunjukkan dengan ditemukannya penyakit beri-beri pada anak ayam yang diberi beras yang sudah digiling. Kemudian, riset oleh Voorthuis pada tahun 1915, menekankan pentingnya sanitasi untuk memastikan kesehatan yang optimal di antara buruh dan mencegah beri-beri dengan distribusi bekatul (rice bran ). Menurut penelitian Barker di Inggris tahun 1980-an, diketahui bahwa prevalensi penyakit jantung lebih banyak pada golongan masyarakat miskin. Teori Barker menyatakan bahwa ada korelasi antara kekurangan gizi pada janin dan anak di bawah dua tahun dengan risiko kegemukan, diabetes dan lain -lain penyakit non infeksi pada usia dewasa.
Istilah “gizi” sebagai terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris “nutrition” di Indonesia sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Echols dan Shadily dalam kamus Inggris -Indonesia dari Cornell University yang pertama diterbitkan pada tahun 1960. Selanjutnya, Poorwo Soedarmo memilih kata “gizi” dan menjadi istilah yang lazim dan resmi sebagai terjemahan dari istilah “nutrition”, baik dalam tulisan ilmiah maupun dokumen pemerintah seperti dalam buku Repelita. Perkembangan ilmu gizi dalam dekade terakhir sangat pesat, sehingga dikatakan sebagai era Nutrigenomik. Di lain pihak masalah gizi merupakan akibat dari interaksi sebuah jaringan yang kompleks, mulai dari tingkat molekul dan mikrobiologi dari masing-masing orang hingga keadaan budaya, sosial ekonomi suatu masyarakat. Penyebab langsung terjadinya masalah gizi, khususnya masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah kurangnya asupan pangan dan adanya penyakit infeksi yang keduanya saling terkait.
Ketersediaan pangan dan pola konsumsi pangan di rumah tangga, rendahnya cakupan pelayanan kesehatan, buruknya kondisi kesehatan lingkungan, dan pola asuh merupakan penyebab tidak langsung yang ketiganya saling berkaitan.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan mengatur bahwa Tenaga Gizi merupakan salah satu kelompok Tenaga Kesehatan, dan terdiri atas Nutrisionis dan Dietisien. Dalam rangka mencegah terjadinya dan sekaligus menanggulangi masalah gizi diperlukan Nutrisionis yang kompeten sehingga mampu melaksanakan pelayanan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang gizi. Dunia Internasional sepakat bahwa pada tahun 2020 Sustainable Development Goals (SDGs) dan Quality of Health Care yang di keluarkan oleh Institute of Medicine (IOM) tahun 2001 menjadi tujuan yang harus dicapai dengan baik. Keb eradaan Nutrisionis yang kompeten sangat dibutuhkan mengingat saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, di mana menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2013 ditemukan tingginya kekurangan gizi seperti berat badan rendah dan endek ( stunted ), dibarengi dengan meningkatnya prevalensi kegemukan pada wanita dewasa dan anak. Fenomena lain, masalah obesitas dan penyakit non infeksi tidak lagi menjadi monopoli negara dan masyarakat kaya.
Perkembangan IPTEK di bidang gizi dan keberadaan Nutrisionis yang berkompeten sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya bencana akibat masalah gizi ganda. Salah satu cara adalah selalu memperbaiki gaya hidup dan perubahan pola makan, melakukan aktivitas fisik dan pencegahan penyakit. Selain itu juga meningkatkan kemampuan penelitian untuk melengkapi data dampak dari perubahan pola hidup, melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dengan gizi seimbang menggunakan materi yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan ke majuan IPTEK. Upaya lain yang cukup penting adalah melakukan advokasi kepada pemerintah dan para pengambil keputusan terhadap kemungkinan bahaya akibat masalah gizi ganda.
Sejalan dengan maksud tersebut Nutrisionis sangat diperlukan keberadaannya demi menu njang kegiatan gizi masyarakat sesuai dengan amanat Sustainable Development Goals (SDGs). Tenaga Nutrisionis yang berkompeten diharapkan mampu secara nyata membantu pemerintah untuk menerapkan gaya hidup dan pola makan yang lebih sehat melalui berbagai cara antara lain melalui pengaturan dan perundangan. Selama ini kendala yang dihadapi upaya perbaikan gizi kaitannya dengan faktor ketenagaan adalah pengadaan, pemerataan dan pendayagunaan tenaga Nutrisionis. Yang tidak kalah penting adalah hendaknya juga belajar dari pengalaman negara lain yang telah berhasil mencegah dan menanggulangi masalah gizi.
Perkembangan pendidikan gizi di Indonesia dimulai dengan berdirinya Sekolah Ahli Makanan Jakarta tanggal 27 September 1950 dengan masa pendidikan satu setengah ta hun. Lulusan sekolah ahli makanan bekerja di rumah sakit sebagai ahli makanan. Sebagai kelanjutan dari sekolah ahli makanan didirikan sekolah ahli diet tahun 1952 dengan masa pendidikan 3 tahun dan tahun 1957 menjadi Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diet dengan lokasi di Bogor (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, jalan Dr. Semeru Bogor) dan lulusan berhak menyandang gelar Bachelor of Science (B.Sc.) yang diakui oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1959.
Tahun 1965 kampus gizi dipindahkan ke jalan Hang Jebat III Kebayoran Baru Jakarta Selatan sampai sekarang. Nama berubah menjadi Akademi Gizi yang merupakan satu-satunya pendidikan gizi di Indonesia sampai tahun 1982 dengan sebutan lulusan Ahli Gizi. Ahli Gizi sebagai lulusan Akademi Gizi masih menyandang gelar Bachelor of Science (B.Sc.) yang diakui perguruan tinggi luar negeri sehingga dapat langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister. Sejak tahun 1982 bertambah akademi-akademi gizi di beberapa kota seperti M alang, Padang, Yogyakarta, Bali dan seterusnya sampai sekarang ada di 34 Provinsi dengan jalur berubah dari akademik menjadi vokasi (D3 Gizi) dengan sebutan lulusan Ahli Madya Gizi yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Pendidikan Sarjana Gizi sebelum tahun 2000 masih berada pada Departemen Ilmu Kesehatan Keluarga dan menjadi Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber daya Keluarga pada tahun 1981 di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan gelar Insinyur. Program Studi Sarjana Gizi secara murni baru lahir tahun 2000-an di bawah Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan Fakultas Ekologi Manusia IPB. Jumlah yang semula hanya satu akademi sebelum tahun 1980 dan menjadi 34 akademi pada tahun 1990-an serta bertambah menjadi 123 institusi pendidikan gizi setelah tahun 2000. Untuk pendidikan Program Diploma IV dilaksanakan pada Program Studi Gizi bidang Gizi Klinik dan Institusi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1991 sampai dengan tahun 2006. Tahun 2011, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan membuka Program Studi Diploma IV atau Sarjana Terapan Gizi.
Untuk menghasilkan Nutrisionis yang kompeten diperlukan standar kompetensi nasional yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374 Tahun 2007 tentang Standar Profesi Gizi yang berisi Standar Kompetensi, Standar Pendidikan, Kode Etik Gizi, dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pekerjaan dan Praktik Tenaga Gizi.
Prospek bidang pekerjaan yang tersedia bagi lulusan pendidikan Nutrisionis di masa yang akan datang masih sangat terbuka dan memiliki prospek yang cerah, baik sebagai praktisi, akademisi maupun peneliti. Dewasa ini terdapat berbagai lahan kerja yang dapat menjadi tempat kerja prospektif bagi Nutrisionis. Hasil survei Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan tahun 2001 menunjukkan bahwa lahan kerja prospektif bagi Nutrisionis meliputi pekerjaan di bidang gizi masyarakat, dietetika, gizi olahraga, ketahanan pangan dan gizi, pencegahan penyakit degeneratif, bioteknologi gizi. Lapangan pekerjaan ini terdapat baik di dalam maupun di luar negeri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka diperlukan adanya tenaga Nutrisionis kompeten yang akan menjadi pengelola pelayanan gizi yang profesio nal, dengan mengutamakan pelayanan promotif dan preventif berdasarkan prinsip ilmu pangan, gizi dan kesehatan. Standar kompetensi Nutrisionis ini menguraikan profil, peran dan wewenang kerja tenaga Nutrisionis.
Diktum KESATU Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis, menyatakan Standar profesi Nutrisionis terdiri atas standar kompetensi dan kode etik profesi.
Diktum KEDUA Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07-MENKES-342-2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionismenyatakan Mengesahkan standar kompetensi Nutrisionis sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf a, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KETIGA Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis, menyatakan Kode etik profesi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf b ditetapkan oleh organisasi profesi.
Maksud adanya Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07-MENKES-342-2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionisadalah tersedianya standar minimal kompetensi Nutrisionis sebagai acuan kewenangan dalam melaksanakan tugas pelayanan gizi dan pengembangan profesi gizi di Indonesia.
Tujuan Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis adanya adalah 1) Sebagai acuan bagi penyelenggara pendidikan gizi yang menghasilkan Nutrisionis di Indonesia dalam rangka menjaga kualitas. 2) Menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan gizi yang profesional untuk individu, kelompok, dan masyarakat. 3) Mencegah timbulnya kesalahan dalam pelaksanaan pelayanan gizi. 4) Sebagai acuan perilaku Nutrisionis dalam mendarma baktikan dirinya di masyarakat.
Manfaat diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07-MENKES-342-2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionisantara lain: Bagi Institusi Pendidikan sebagai acuan dalam menyusun kurikulum sehingga terjadi kesesuaian antara proses pembelajaran dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian meskipun kurikulum antara perguruan tinggi memiliki perbedaan, tetapi Nutrisionis yang dihasilkan dari berbagai program studi diharapkan memiliki kesetaraan dalam penguasaan kompetensi. Bagi Pemerintah/Pengguna: Sebagai acuan bagi institusi yang berwenang untuk menyusun pengaturan kewenangan profesi Nutrisionis, dengan memperhatikan kompetensi, dan sebagai acuan dalam perencanaan pelatihan, karena dapat diketahui kompetensi apa yang telah dikuasai seorang Nutrisionis dan kompetensi apa yang perlu ditambah, sesuai dengan kebutuhan spesifik di tempat kerja.
Manfaat bagi masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas kompetensi yang akan dikuasai oleh Nutrisionis. Manfaat Bagi Nutrisionis adalah sebagai Pedoman dalam pelaksanaan praktik Nutrisionis dan Alat ukur kemampuan diri. Bagi Organisasi Profesi adalah Sebagai acuan dalam menyelenggarakan program pengembangan Kompetensi secara berkelanjutan, dan sebagai acuan untuk menilai kompetensi Nutrisionis lulusan luar negeri.
Selengkapnya silahkan baca Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis,melalui salinan dokumen yang terdapat di bawah ini
Demikian informasi tentang Keputusan Menteri Kesehatan KMK atau Kepmenkes Nomor HK.01.07-MENKES-342-2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis. Semoga ada manfaatnya, terima kasih.